Jumat, 21 November 2014

Renungan Bhagavatam: Kegelisahan Bhagawan Abyasa Dan Kedamaian Resi Narada

Di tepi Sungai Saraswati, Bhagawan Abyasa memperhatikan riak air yang tak kunjung berhenti. Riak-riak air tersebut terjadi karena aliran sungai menyentuh batu-batu kali berwarna abu-abu. Air jernih membasahi tanaman-tanaman di tebing yang nampak hijau. Bunga-bunga berwarna merah dan kuning mekar nampak menyambut matahari pagi. Akan tetapi alam yang begitu indah kali ini belum dapat menenangkan gejolak pikiran Sang Bhagawan.
Diantara desah angin yang semilir, terdengar bunyi vina berdenting pelahan. Muncul kebahagiaan Sang Bhagawan kala mendengar denting vina yang begitu dikenalnya.
Dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 disampaikan……. Jenis musik yang kita sukai bisa menjelaskan sifat kita, karakter kita, watak kita. Gitar, vina, harpa dan biola masuk dalam satu kategori. Alat-alat itu bisa mendatarkan gelombang otak, dan menenangkan diri manusia. Para penggemar musik gitar, tak akan pernah mengangkat senapan untuk membunuh orang. Musik gendang, drum dan alat-alat lain sejenis bisa membangkitkan semangat. Bagus, bila diimbangi dengan gitar dan alat sejenis. Bila tidak, akan membangkitkan nafsu dan gairah yang berlebihan.

 Resi Narada, Sang Putra Brahma datang mendekati Sang Bhagawan dan bertanya, “Kamu sudah menyelesaikan syair agung Mahabharata, sebuah arsip dari ratusan karakter manusia, berbagai pengetahuan tentang sifat-sifat manusia. Umat manusia di masa depan akan memperoleh manfaat dari buah karyamu. Akan tetapi, mengapa belum nampak juga kelegaan dalam rona wajahmu? Mengapa belum Nampak kepuasan dari hasil amal perbuatanmu yang sangat mulia?
Seperti sebuah bendungan yang lama menyimpan air yang selalu bertambah dan menemukan pintu keluar, arus pikiran Sang Bhagawan menyembur keluar, “Wahai Resi Pengasih Umat manusia, hanya engkau yang dapat memandu aku keluar dari belitan permasalahanku, yang belum nampak juga ujung pangkalnya. Dalam keheningan meditasi aku pernah melihat masa depan umat manusia. Aku melihat kerusakan dharma, karakter manusia yang menurun derajatnya. Kedatangan Kali membuat kebejatan moral memenuhi bumi. Aku ingin meringankan penderitaan manusia di masa depan. Aku menyusun Veda dan membaginya menjadi empat kitab. Murid-muridku, Paila belajar Rig, Jaimini belajar Sama, Vaisampana belajar Yajur dan Sumantu belajar Atharva. Kemudian kepada Romaharsana kuajarkan 17 purana. Karena aku masih belum puas juga, maka aku berupaya agar kitab Veda diajarkan melalui cerita, supaya manusia memperoleh hikmah dari cerita tersebut. Oleh karena itulah aku menyusun Mahabharata. Tetapi aku belum merasakan kelegaan, belum ada kedamaian dalam diri.
Sang Putra Brahma, mendengarkan penuh perhatian. Dan keadaan menjadi hening, manakala Sang Bhagawan menunggu ucapan yang akan keluar dari Resi Narada. Arus sungai Saraswati pun mulai terdengar.  Dan, Sang Dewaresi berkata pelan, “Itu belum cukup!”
Kembali Sang Bhagawan bertanya, “Wahai Resi yang kupuja, mengapa belum cukup? Aku sudah mengupayakan semua yang dapat kulakukan. Aku sudah menuliskan semua yang aku pikir penting bagi manusia, bagaimana menegakkan dharma. Katakan wahai Resi yang kuhormati apa yang belum aku perbuat?
Sang Putra Brahma, kembali berucap pelan, “Kamu sudah melakukan jasa besar terhadap umat manusia dengan menulis Mahabharata. Akan tetapi ada kelemahan dalam karyamu. Kamu mengusahakan kesejahteraan manusia dengan kisah Pandawa. Kamu menegaskan tugas-tugas manusia atas dharmanya. Kamu memberi dorongan agar manusia berkarya tanpa pamrih, atau karma yoga. Akan tetapi, kamu belum menyanyikan lagu pujian terhadap Tuhan. Jalan paling mudah menuju Tuhan adalah jalan bhakti. Yoga yang lain lebih keras  dalam menuju penyatuan ilahi……. Kata-kata yang salah, nada yang sumbang asal dipersembahkan kepada Tuhan dengan tulus akan menjamin karunia-Nya. Karena menyanyi lagu pujian menggunakan rasa……. Mahabharata membuat sikapmu menjadi obyektif. Kamu masuk ke dalam masing-masing karakter. Kamu akan berpikir baik atau jahat. Kamu akan berterima kasih kepada kebaikan dan tidak kepada kejahatan. Tidak ada ketulusan dalam bhaktimu. Masih bersyarat…… Kamu harus mencoba mengajarkan hal lain. Pujilah Tuhan secara terus-menerus. Aku yakin kamu akan mudah mendapatkan kedamaian. Ceritakanlah kepada manusia tentang rahasia di balik para avatara. Ceritakan mengapa Tuhan mempunyai sifat berlawanan. Uraikan mengapa Hyang Maha Kuasa mengambil suatu wujud dan nama serta kelahiran seperti manusia. Mengapa para avatara bertindak sebagai manusia dengan emosi manusia pula. Sebutkan juga walaupun seorang manusia gagal dalam tugasnya, dan melanggar aturan alam, jika dalam hatinya ada setitik cinta, bhakti kepada Tuhan, hal tersebut akan mencuci kesalahannya.
Dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 disampaikan……. Kesimpulan Narada sungguh sederhana. Love means fulfillment. Terisi oleh cinta, jiwa tak akan menuntut sesuatu lagi. Bila sudah menemukan cinta, Anda tidak akan mencari sesuatu lagi. Pencarian kita membuktikan bahwa kita belum menemukan cinta. Belum terjamah oleh Kasih……. Berhentilah mencari di luar diri. Hentikan pencarianmu, Vyasa. Kasih ada dalam dirimu. Sadarilah Keberadaan-Nya. Kembangkan kesadaran itu. Tingkatkan kesadaranmu, hingga pada suatu ketika, yang kau sadari hanyalah Kasih. Yang kau rasakan hanyalah Kasih. Yang kau lihat hanyalah Kasih.
 Sang Bhagawan mendengarkan dengan seksama, semua kalimat Sang Resi dicerna dan diterima sepenuh hatinya. Ada gurat kebahagiaan di wajah Sang Bhagawan, ikatan tali-temali yang membelitnya terasa longgar.
Resi Narada melanjutkan, “Kamu dilahirkan ke dunia untuk kepentingan umat manusia. Akan tetapi, kamu telah membiarkan emosi memperdayamu. Bangunlah dari tidur yang melupakan kesadaranmu. Ceritakan tentang wujud-wujud ilahi dan tujuan mereka. Pujilah terus menerus dan kau akan memasuki kedamaian.
Dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 disampaikan……. Manusia sudah terbiasa melihat “ke luar”. Dia lupa melihat ke dalam diri. Padahal apa yang dilihatnya itu, apa yang ada di luar itu, tidak pernah memuaskan dirinya. Selalu mengecewakan. Walau demikian, kesadarannya masih tetap mengalir ke luar terus. Dia berharap pada suatu ketika akan menemukan sesuatu yang tidak mengecewakannya. Yang memuaskannya. Kita lahir dan mati, lahir kembali dan mati lagi, dengan kesadaran kita mengalir ke luar terus. Bahkan kita tidak menyadari hal itu. Kita tidak sadar bahwa kesadaran kita sedang mengalir ke luar terus. Seorang Narada menyadari kesalahan diri. Dia sadar bahwa kesadarannya mengalir ke luar terus. Dan dengan penuh kesadaran, dia mengalihkan alirannya ke dalam diri. “Kesadaran untuk mengalihkan aliran kesadaran ke dalam diri” inilah langkah awal dalam meditasi.
 Demikian beberapa contoh tulisan Bapak Anand Krishna dalam 140-an buku tulisannya. Buku-buku Bapak Anand Krishna menyajikan kebijakan-kebijakan leluhur dengan kemasan masa kini yang mudah dimengerti. Kebijakan yang melampaui sekat-sekat etnis, suku, agama dan yang lain. Kebijakan yang menjelaskan bahwa nampaknya berbeda-beda, pada hakikatnya esensinya satu jua….. Sayang pandangan Bapak Anand Krishna tentang kebhinnekaan tidak disukai beberapa kelompok yang tidak suka dengan kebhinnekaan….. Silakan lihat….
Sang Bhagawan membungkukkan punggungnya dan berkata, “Terima kasih wahai dewaresi yang bijaksana, aku sadar Mahabharata dijiwai Karma Yoga, Upanishad diilhami Jnana Yoga, dan akan kepenuhi nasehat dewaresi untuk menulis tentang para Bhakta, para Panyembah yang melaksanakan Bhakti Yoga.
Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan”, Anand Krishna, Pustaka Bali Post, 2007 disampaikan……. Bagaimana ciri-ciri seorang Bhakta? Bagaimana mengenalinya? Gampang…… Bhagavad Gita menjelaskan bahwa dalam keadaan suka maupun duka – ia tetap sama. Ketenangannya kebahagiaannya, keceriaannya – tidak terganggu. Ia bebas dari rasa takut. la tidak akan menutup-nutupi Kebenaran. la akan mengungkapkannya demi Kebenaran itu sendiri. la menerima setiap tantangan hidup….. la bersikap “nrimo” – nrimo yang dinamis, tidak pasif, tidak statis. Pun tidak pesimis. Menerima, bukan karena merasa tidak berdaya; ikhlas, bukan karena memang dia tidak dapat berbuat sesuatu, tetapi karena ia memahami kinerja alam. Ia menerima kehendak Ilahi sebagaimana Isa menerimanya diatas kayu salib. Ia berserah diri pada Kehendak Ilahi, sebagaimana Muhammad memaknai Islam sebagai penyerahan diri pada-Nya. Pasang-surut dalam kehidupan seorang Bhakta tidak meninggalkan bekas. Tsunami boleh terjadi, tetapi jiwanya tidak terporak-porandakan………. Banyak yang berprasangka bahwa sikap “nrimo” membuat orang menjadi malas. Sama sekali tidak. Sikap itu justru menyuntiki manusia dengan semangat, dengan energi  Terimalah setiap tantangan, dan hadapilah! Seorang Bhakta selalu penuh semangat. Badan boleh dalam keadaan sakit dan tidak berdaya – jiwanya tak pernah berhenti berkarya. la akan tetap membakar semangat setiap orang yang mendekatinya. “Jadilah seorang Bhakta,” demikian ajakan Sri Krishna kepada Arjuna, di tengah medan perang Kurukshetra. Tentunya, ia tidak bermaksud Arjuna meninggalkan medan perang dan melayani fakir-miskin di kolong jembatan. Atau, berjapa, berzikir pada Hyang Maha Kuasa, ber-“keertan”, menyanyikan lagu-lagu pujian. Tidak. Krishna mengharapkan Arjuna tetap berada di Kurukshetra, dan mewujudkan Bhaktinya dengan mengangkat senjata demi Kebenaran, demi Keadilan.


 Resi Narada pamit dan diantar Sang Bhagawan sampai di gerbang “ashram”, bahasa Kawi dari padepokan. Sang Bhagawan kembali duduk meditasi di tepi Sungai Saraswati.  Sang Bhagawan sadar selama ini dia masih memiliki keinginan, walaupun keinginan untuk membabarkan Veda dalam kisah Mahabharata. Dalam keadaan hening, Sang Bhagawan tidak memiliki “desire”, keinginan lagi, bahkan tidak memiliki keinginan duniawi yang melulu dipersembahkan kepada Gusti sekalipun. Dia hanya punya “willingness”, kehendak, berupaya keras melakukan kehendak-Nya, bukan keinginan diri pribadi. Dalam keheningan, Sang Bhagawan melihat peristiwa-peristiwa agung di masa lampau. Kemudian Sang Bhagawan mulai menyusun Srimad Bhagavatam, Pustaka Keilahian…….

Tidak ada komentar: