Suatu
ketika, seorang perdana menteri terkenal bernama Bin Jyi dari dinasti Han Barat
(206 S.M) sedang dalam perjalanan menuju ke suatu pesta. Salah satu pengawalnya
merasa agak mabuk dan tiba-tiba muntah di atas karpet kereta tersebut.
"Berani benar kamu!" seorang asisten segera membentak,
lalu dengan sangat malu dan tidak enak, bertanya kepada tuannya "Yang
Mulia, haruskah saya memecat orang dusun ini sekarang juga?"
"Tentu
saja tidak," si perdana menteri menjawab dengan tenang, tidak menunjukan
kemarahan sama sekali. "Ia adalah pemuda yang baik! Jika kamu memecatnya,
ia dengan memikul nama buruk tidak akan dapat memperoleh pekerjaan yang baik di mana pun. Saya tidak
ingin merusak masa depannya. Bersikaplah baik dan penuh perhatian kepada orang
lain. Ia hanya secara tidak sengaja mengotori sebagian karpet itu, yang bukan
merupakan kejahatan yang berbahaya. Saya sama sekali tidak marah."
Pada masa
itu nyawa dianggap murah – terutama nyawa para pelayan dan budak. Untuk
pelanggaran kecil semacam itu, seorang pelayan sering dihukum berat atau bahkan
dijatuhi hukuman mati. Asisten itu awalnya terbengong-bengong akan kemurahan
hati tuannya, dengan enggan menyampaikan keputusan ini kepada si pengawal yang
ketakutan, yang juga keheranan tetapi menghargainya dalam-dalam. Setelah insiden tersebut, si perdana
menteri secara tidak disadari mendapatkan seorang pelayan yang luar biasa
loyalnya, yang dengan suka rela akan mengorbankan hidupnya sendiri untuk
tuannya yang berhati mulia.
Pengawal
yang berasal dari perbatasan barat itu suatu ketika sedang mengambil cuti,
pulang kekampung halamannya. Setelah secara tidak sengaja mendengar bahwa
bangsa barbar yang letaknya bersebelahan bermaksud menduduki garis depan, ia segera kembali dan
menyampaikan sepotong informasi yang sangat penting ini kepada tuannya.
Tuannya segera mengerahkan pasukannya yang ada di sana. Beberapa hari kemudian,
pecahlah perang. Karena pasukan itu telah diingatkan dan dipersiapkan dengan
baik, korban-korban yang timbul tidak banyak dan serangan itu berhasil
digagalkan.
Bayangkan! Dengan kebaikan yang sesederhana
itu, kebaikan yang jauh lebih besar bisa didapat. Itulah yang dimaksud dengan
nasihat orangtua kita bahwa jika ingin menggerakan seseorang untuk melakukan
hal-hal yang baik, sentuhlah hatinya. Namun teori Leadership modern
sekarang ini umumnya hanya menggunakan "senjata" Reward and Punishment
saja – Jika kita melakukannya sesuai harapan akan mendapat hadiah,
dan jika
melakukannya tidak sesuai dengan harapan, akan mendapat hukuman. Sebetulnya pendekatan itu sama
sekali tidak salah selama niatnya baik, bukan karena memanfaatkan orang lain untuk kepentingan pribadi.
Pada
akhirnya kita semua menyadari bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang hebat
itu tidaklah mudah. Karena ini tidak hanya menyangkut ketegasan dan pengetahuan
yang luas tentang kepemimpinan saja, melainkan erat kaitannya
dengan kebaikan hati. Dan kita semua tahu bahwa kebaikan hati tidak bisa
direkayasa dan dipelajari melalui buku dan bangku sekolah, kebaikan hati adalah
karunia Tuhan yang harus dipraktekan dalam kehidupan nyata. Walaupun seseorang
memahami betul tentang manfaat madu, tetaplah madu belum bermanfaat selama Ia
belum meminumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar