Seorang
CEO dari perusahaan Terkenal mengatakan, :
“Success can lead to arrogance. When we
are arrogant, we quit listening. When we quit listening, we stop changing. In
today’s rapidly moving world, if we quit changing, we will ultimately fail.” (Sukses
bisa membuat kita jadi arogan. Saat kita arogan, kita berhenti mendengarkan.
Ketika kita berhenti mendengarkan, kita berhenti berubah. Dan di dunia yang
terus berubah dengan begitu cepatnya seperti sekarang, kalau kita berhenti
berubah, maka kita akan gagal). Itulah sisi negatif dari kesuksesan,
yakni arogansi.
Arogansi muncul saat seseorang merasa diri paling hebat,
paling luar biasa, dan paling baik dibandingkan dengan yang lainnya. Penyakit
mental ini bisa menjangkiti apa dan siapa saja, mulai dari organisasi, produk,
pemimpin, sampai orang biasa.
Orang sukses lalu bersombong ria sebenarnya patut disayangkan.
Bayangkan saja, saat berjuang keras menggapai kesuksesan, mereka begitu terbuka
untuk belajar. Mereka mau mendengarkan. Mereka mau berjerih payah, berani hidup
susah, dan mengorbankan diri. Bahkan, mereka tampak sangat ‘merakyat’ hidupnya.
Akan tetapi, itu dulu. Sayang sekali, saat kesuksesan datang, mereka lupa diri.
Mungkin dia akan berkata, “Saya sudah
berhasil mencapai yang terbaik. Sekarang, Andalah yang harus mendengarkan saya.
Saya tidak perlu lagi mendengarkan Anda.” Hal itu diperparah
lagi ketika mereka dikelilingi oleh para ‘yes man’ yang tidak berani
angkat bicara soal kekurangan orang ini.
Hal ini membuat orang itu semakin ‘megalomania’, pongah, angkuh, dan
egois. Ia terbelenggu oleh kesuksesannya sendiri. Ia tidak pernah belajar lagi.
Arogansi bisa menghampiri siapa saja. Termasuk seorang
pendidik, guru, dosen, yang tiap hari memberi suatu bagi orang lain.
Dari situ, kita belajar banyak untuk hati-hati.
Kesuksesan jangan membuat kita arogan dan cenderung self centered serta tidak
mau mendengarkan orang lain. Dunia begitu mengenal sosok Mao, Hitler,
ataupun Stalin. Mereka berjuang dari basis bawah menuju pucuk kepemimpinan.
Mereka pun berjuang untuk perubahan di masyarakatnya. Idealisme mereka sangat
luar biasa. Orang pun dibuatnya kagum. Namun, mereka lupa daratan ketika
sukses. Mereka memonopoli kebenaran tunggal alias antikritik dan antipembaruan.
Mereka memimpin dengan tangan besi. Korban pun bergelimpangan dari tangannya.
Begitu juga dalam sejarah bisnis. IBM
yang begitu besar dan terkenal pernah mengalami kemerosotan saat arogansi
membekap sikap dan pikiran para pemimpin mereka. Terjebak retorika
Namun, itulah yang terjadi apabila orang berhenti
belajar dan merasa diri sudah selesai. Tanpa dia sadari, lingkungannya terus
belajar, berinovasi, dan berkembang. Sementara, dia mandek di posisinya.
Akibatnya, kue kesuksesan yang dia peroleh lama-kelamaan menjadi basi. Tanpa
sadar, kompetitor mereka bergerak jauh meninggalkan dirinya di belakang. Mereka
terjebak dalam retorika, kalimat, jurus yang itu-itu saja alias usang.
Arogansi telah menutup hati dan pikirannya untuk
kreatif menemukan jurus dan tip-tip baru mempertahankan sekaligus mengembangkan
kesuksesannya. Di sinilah, arogansi berujung pada malapetaka dan kehancuran.
Jadi, bagaimanakah tipnya agar kesuksesan kita tidak berubah
menjadi arogansi?
Pertama- Aware (sadar) dengan sikap dan tingkah
laku kita selalu. Meskipun sudah sukses, kita perlu memberi waktu untuk
menyadari sikap dan perilaku kita di mata orang lain. Selalulah sadar apakah
nada dan ucapan serta tindak tanduk kita sekarang semakin membuat banyak orang
lain terluka? Apakah kita masih tetap menghargai orang lain? Apalagi
orang-orang yang telah turut membawa Anda ke level sukses sekarang, apakah Anda
hargai? Jangan sampai, tatkala masih bersusah payah, kita begitu respek, tetapi
setelah sukses justru mencampakkan mereka.
Kedua- Waspadai umpan balik yang hanya menghibur kita tetapi
tidak membuat kita belajar lagi. Hati-hati dengan orang di sekeliling kita yang
hanya mengatakan hal bagus, tetapi tidak berani memberikan masukan yang baik.
Kadang, masukan negatif juga kita perlukan demi perkembangan, sesukses apa pun
kita.
Ketiga- Awasi dan peka dengan perubahan yang terjadi. Dalam
buku Who Moved My Cheese disimpulkan bahwa kita harus selalu mencium keju kita,
apakah sudah basi ataukah mulai diambil orang lain. Kita pun harus terus
mencium dan peka bagaimana orang lain mengembangkan dirinya serta bisa jadi
ancaman bagi kita. Jangan pula merasa diri paling hebat dan lupa belajar.
Keempat- Sopan dan rendah hati untuk belajar dari orang lain.
Semoga tulisan yang didapat ini
Dapat menginspirasi Anda untuk meraih sukses sejati. Kesuksesan yang
membuat Anda tidak arogan. Ada kalimat kuno yang seringkali sudah kita
dengar. “Di atas langit masih ada langit yang
lain”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar